Danantara Diantara Kontroversi dan Harapan
Danantara
Nama Danantara mencuat dalam pemberitaan seputar ekonomi dan keuangan Indonesia. Inisiatif yang digadang-gadang sebagai terobosan baru ini mendapat dukungan resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun juga menuai peringatan dari para pakar.
Apa Itu Danantara?
Berdasarkan pemberitaan Kompas, Danantara diluncurkan sebagai Badan Pengelola Investasi (BPI) yang bertujuan mengoptimalkan pengelolaan dana publik untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan. OJK, sebagai regulator sektor jasa keuangan, secara resmi mendukung inisiatif ini melalui acara peluncuran yang digelar pekan lalu. Harapannya, Danantara bisa menjadi motor penggerak investasi strategis, terutama di sektor-sektor yang selama ini kurang terjamah.
Seiring optimisme tersebut, muncul pertanyaan: apakah Danantara benar-benar siap menghadapi kompleksitas pengelolaan dana publik? Di sinilah kontroversi mulai bermunculan.
Dukungan OJK: Pintu Menuju Ekonomi yang Lebih Inklusif
Dukungan OJK terhadap Danantara bukan tanpa alasan. Dalam siaran pers RRI, OJK menegaskan bahwa kehadiran BPI ini sejalan dengan visi meningkatkan inklusi keuangan dan mempercepat pembangunan. Melalui Danantara, dana seperti tabungan masyarakat, aset BUMN, atau bahkan investasi asing diharapkan bisa dikelola secara profesional untuk proyek-proyek prioritas, seperti jalan tol, listrik pedesaan, atau akses air bersih.
“Ini langkah progresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar perwakilan OJK dalam salah satu wawancara. Namun, OJK juga mengingatkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap pengelolaan dana.
Peringatan Pakar IPB: Jangan Sampai Jadi Bumerang
Di tengah euforia peluncuran, pakar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan catatan kritis. Dalam artikel Medcom, Profesor Arief Daryanto, ahli kebijakan publik, memperingatkan bahwa Danantara berpotensi menjadi “bumerang” jika tidak dikelola dengan hati-hati.
“Investasi skala besar selalu membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia bisa mendongkrak pertumbuhan, tapi di sisi lain, risiko kebocoran dana, korupsi, atau salah alokasi proyek sangat mungkin terjadi,” jelasnya. Ia mencontohkan kasus-kasus sebelumnya di mana lembaga serupa gagal memenuhi target karena lemahnya pengawasan.
Pakar ini menekankan perlunya mekanisme audit independen dan partisipasi masyarakat dalam memantau kinerja Danantara. “Masyarakat harus dilibatkan sebagai pengawas, bukan sekadar penonton,” tambahnya.
Menyikapi Kontroversi: Antara Harapan dan Kewaspadaan
Reaksi publik terhadap Danantara terbelah. Sebagian melihatnya sebagai angin segar untuk pemerataan pembangunan, sementara lainnya khawatir inisiatif ini hanya akan menambah daftar proyek “gagal” akibat korupsi atau inefisiensi.
Lantas, bagaimana menyikapi hal ini? Pertama, transparansi harus menjadi prinsip utama. OJK dan pemerintah perlu memastikan bahwa setiap langkah Danantara—mulai dari pengumpulan dana hingga eksekusi proyek—dapat diakses publik secara terbuka. Kedua, kolaborasi dengan pakar dan akademisi perlu diperkuat untuk meminimalkan risiko teknis dan manajerial.
Tak kalah penting, peran masyarakat sebagai penerima manfaat akhir harus aktif. Dengan memanfaatkan platform pengaduan atau media sosial, masyarakat bisa menjadi “mata dan telinga” yang membantu mengawasi jalannya proyek.
Apa Itu Danantara?
Berdasarkan pemberitaan Kompas, Danantara diluncurkan sebagai Badan Pengelola Investasi (BPI) yang bertujuan mengoptimalkan pengelolaan dana publik untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan. OJK, sebagai regulator sektor jasa keuangan, secara resmi mendukung inisiatif ini melalui acara peluncuran yang digelar pekan lalu. Harapannya, Danantara bisa menjadi motor penggerak investasi strategis, terutama di sektor-sektor yang selama ini kurang terjamah.
Seiring optimisme tersebut, muncul pertanyaan: apakah Danantara benar-benar siap menghadapi kompleksitas pengelolaan dana publik? Di sinilah kontroversi mulai bermunculan.
Dukungan OJK: Pintu Menuju Ekonomi yang Lebih Inklusif
Dukungan OJK terhadap Danantara bukan tanpa alasan. Dalam siaran pers RRI, OJK menegaskan bahwa kehadiran BPI ini sejalan dengan visi meningkatkan inklusi keuangan dan mempercepat pembangunan. Melalui Danantara, dana seperti tabungan masyarakat, aset BUMN, atau bahkan investasi asing diharapkan bisa dikelola secara profesional untuk proyek-proyek prioritas, seperti jalan tol, listrik pedesaan, atau akses air bersih.
“Ini langkah progresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar perwakilan OJK dalam salah satu wawancara. Namun, OJK juga mengingatkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap pengelolaan dana.
Peringatan Pakar IPB: Jangan Sampai Jadi Bumerang
Di tengah euforia peluncuran, pakar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan catatan kritis. Dalam artikel Medcom, Profesor Arief Daryanto, ahli kebijakan publik, memperingatkan bahwa Danantara berpotensi menjadi “bumerang” jika tidak dikelola dengan hati-hati.
“Investasi skala besar selalu membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia bisa mendongkrak pertumbuhan, tapi di sisi lain, risiko kebocoran dana, korupsi, atau salah alokasi proyek sangat mungkin terjadi,” jelasnya. Ia mencontohkan kasus-kasus sebelumnya di mana lembaga serupa gagal memenuhi target karena lemahnya pengawasan.
Pakar ini menekankan perlunya mekanisme audit independen dan partisipasi masyarakat dalam memantau kinerja Danantara. “Masyarakat harus dilibatkan sebagai pengawas, bukan sekadar penonton,” tambahnya.
Menyikapi Kontroversi: Antara Harapan dan Kewaspadaan
Reaksi publik terhadap Danantara terbelah. Sebagian melihatnya sebagai angin segar untuk pemerataan pembangunan, sementara lainnya khawatir inisiatif ini hanya akan menambah daftar proyek “gagal” akibat korupsi atau inefisiensi.
Lantas, bagaimana menyikapi hal ini? Pertama, transparansi harus menjadi prinsip utama. OJK dan pemerintah perlu memastikan bahwa setiap langkah Danantara—mulai dari pengumpulan dana hingga eksekusi proyek—dapat diakses publik secara terbuka. Kedua, kolaborasi dengan pakar dan akademisi perlu diperkuat untuk meminimalkan risiko teknis dan manajerial.
Tak kalah penting, peran masyarakat sebagai penerima manfaat akhir harus aktif. Dengan memanfaatkan platform pengaduan atau media sosial, masyarakat bisa menjadi “mata dan telinga” yang membantu mengawasi jalannya proyek.
0 comments :
Post a Comment