Rusun, Dilema Hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

09 February 2025

Rusun, Dilema Hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah


 

rus
Rusun: Rumah Susun

Rumah susun (rusun) seharusnya menjadi solusi hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, persoalan seperti pembatasan masa sewa, relokasi paksa seperti di Kampung Bayam, dan masalah tunggakan sewa justru menambah beban warga.   

Kami Mau Tinggal di Mana?  
Isu pembatasan masa sewa rusun ramai diperdebatkan setelah warga Rusun Marunda, Jakarta Utara, menolak kebijakan pemerintah yang membatasi masa hunian maksimal 10 tahun. Bagi banyak keluarga, rusun bukan sekadar tempat tinggal sementara, tapi “rumah” yang mereka bangun dengan kenangan dan usaha.  “Kalau diusir, kami harus ke mana? Tidak ada tabungan untuk beli rumah,” keluh salah seorang warga. Kebijakan ini dianggap mengabaikan kondisi ekonomi mereka yang sulit mencari alternatif hunian terjangkau. Pemerintah beralasan pembatasan diperlukan agar rusun bisa dinikmati lebih banyak keluarga. Namun, solusi konkret bagi warga yang harus pindah belum jelas. Apakah ada jaminan mereka akan mendapat rumah pengganti?  

Kampung Bayam  
Kisah pilu datang dari Rusun Kampung Bayam, Jakarta Timur. Setelah bertahun-tahun jadi polemik, ratusan penghuni akhirnya dipindahkan ke rusun baru di Jalan Tongkol. Meski terdengar positif, proses ini tidak mulus. Banyak warga mengaku dipaksa pindah tanpa persiapan memadai.  “Di sini (Jalan Tongkol) lebih sempit, fasilitas belum lengkap,” protes seorang ibu. Relokasi seringkali dianggap sebagai “solusi instan” tanpa mempertimbangkan kebutuhan dasar warga, seperti akses kerja, sekolah anak, atau lingkungan sosial. Kasus Kampung Bayam menjadi cermin betapa kebijakan perumahan seringkali “terburu-buru” dan minim partisipasi warga.  

Tunggakan Sewa
Masalah lain yang menghantui penghuni rusun adalah tunggakan swae. Di Rusun Pinus Elok, Jakarta Timur, banyak warga menunggak hingga puluhan juta rupiah. Penyebabnya beragam: PHK, biaya hidup naik, atau penghasilan tak tetap. Pemerintah sebenarnya memberi keringanan, seperti potongan denda atau skema cicil. Tapi bagi warga, ini bukan solusi jangka panjang. “Saya jualan gorengan, penghasilan pas-pasan. Kalau dipaksa bayar lunas, ya harus ngutang,” cerita seorang pedagang. Tunggakan sewa tidak hanya soal kemampuan bayar, tapi juga soal ketidakpastian ekonomi yang menghimpit masyarakat kecil.  

Solusi yang Manusiawi  
Akar masalahnya adalah kesenjangan antara kebijakan dan realita hidup warga. Pembatasan masa sewa, misalnya, perlu diimbangi dengan jaminan hunian pengganti. Relokasi seperti di Kampung Bayam harus melibatkan dialog dengan warga, bukan sekadar pindah alamat. Sementara tunggakan sewa butuh pendekatan fleksibel, seperti menyesuaikan tarif sewa dengan penghasilan. Pemerintah juga bisa belajar dari model pengelolaan rusun berbasis komunitas, di mana warga dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, penting untuk memperkuat program bantuan sosial dan pelatihan kerja agar warga mampu membayar sewa tanpa terbebani.  

Rusun adalah tentang manusia, bukan sekadar beton. Setiap kebijakan harus mempertimbangkan hak warga untuk hidup layak. Pembatasan masa sewa, relokasi, atau penagihan tunggakan tidak boleh mengabaikan suara mereka yang terdampak. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait, rusun bisa benar-benar menjadi “rumah” yang memberi rasa aman, bukan sumber masalah baru.
 
sumber data: kompassindonewsdetik

0 comments :

Post a Comment