March 2025

06 March 2025

Sritex, Dari Masa Kejayaan Hinggah Runtuh


 

sri
Runtuhnya Sritex

Pada 1 Maret 2025, PT Sri Rejeki Isman (Sritex)—perusahaan tekstil raksasa asal Solo—resmi menghentikan operasinya. Sritex, yang berdiri sejak 1966, pernah menjadi simbol kemajuan industri tekstil Indonesia. Perusahaan ini mengekspor produk ke puluhan negara dan mempekerjakan lebih dari 30.000 orang. Tutupnya pabrik yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia ini bukan hanya cerita tentang bisnis yang kolaps, tapi juga tentang ribuan pekerja yang tiba-tiba kehilangan mata pencaharian.  

Akar Masalah Sritex  
Sejak 1966, Sritex, berproduksi dan menjadi kebanggaan industri tekstil Indonesia. Perusahaan ini mengekspor produk ke puluhan negara serta memenuhi kebutuhan lokal. Namun menurut media Kompas, masalah mulai menumpuk sejak 2020: utang menumpuk, persaingan global ketat, dan manajemen yang dianggap kurang transparan. Pemerintah sempat memberikan suntikan dana, tapi upaya ini gagal menyelamatkan Sritex. Akhirnya, keputusan tutup menjadi pahit yang harus ditelan.  

Bagi karyawan, ini seperti mimpi buruk. Banyak yang bekerja puluhan tahun tiba-tiba harus menghadapi realita PHK massal. Pertanyaan besar pun mengemuka: Kapan uang JHT mereka cair?  

Nasib JHT Karyawan Sritex  
Jaminan Hari Tua (JHT) adalah hak wajib bagi pekerja yang diatur dalam Uang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Besaran JHT untuk karyawan Sritex bervariasi, tergantung masa kerja dan upah. Misalnya, pekerja dengan masa kerja 10 tahun berhak mendapatkan sekitar Rp50–100 juta. Namun, proses pencairannya tak semudah membalikkan telapak tangan.  

BPJS Ketenagakerjaan menjanjikan pencairan maksimal 30 hari setelah pengajuan. Tapi, ada syarat: dokumen PHK dari perusahaan harus lengkap. Di tengah kekacauan tutupnya Sritex, banyak karyawan khawatir dokumen ini tertunda. Aktivis buruh mendesak pemerintah memastikan proses ini transparan. “JHT adalah hak pekerja, bukan hadiah. Negara wajib memastikan ini tak tertunda,” tegas salah satu pegiat.  

Pernyataan Kontroversial: Bensin di Atas Api  
Di tengah duka karyawan, muncul insiden yang memperburuk situasi. Seorang pejabat perusahaan kerap melontarkan pernyataan provokatif, seperti menyalahkan karyawan atas kebangkrutan Sritex. Akibatnya, protes merebak, dan melaporkan bahwa pejabat tersebut akhirnya dilarang berbicara publik oleh pengadilan.  

Pernyataan-pernyataan ini bukan hanya tidak etis, tapi juga mencerminkan betapa rapuhnya komunikasi antara perusahaan dan pekerja. Alih-alih mencari solusi, ucapan seperti ini justru memicu ketidakpercayaan dan kepanikan.   

Tutupnya Sritex bukan sekadar berita bisnis. Ini tentang karyawan dan keluarganya yang harus putar otak bayar sekolah anak, pekerja yang bingung cari pekerjaan baru di usia senja, dan hak JHT yang mungkin jadi satu-satunya penyelamat.
 
sumber berita:

04 March 2025

Bagaimana Film Tentang Pekerja Seks Bisa Menang Oscar?


 

osc
Piala Oscar

Film Anora garapan sutradara Sean Baker menyapu lima penghargaan di Oscar 2024, termasuk Film Terbaik. Kisahnya yang mengangkat kehidupan pekerja seks di Amerika Serikat langsung menjadi perbincangan. Pertanyaannya: bagaimana film dengan tema sensitif seperti ini bisa meraih pengakuan tertinggi di industri perfilman?  

Tema Tabu  
"Anora" tidak hanya menampilkan kisah pekerja seks secara gamblang, tetapi juga menyelami sisi humanis sang tokoh utama. Sean Baker, yang sebelumnya dikenal lewat film "The Florida Project", memang terkenal dengan gaya bercerita yang realistis dan penuh empati. Alih-alih menjual sensasi, ia fokus pada kompleksitas kehidupan karakter, seperti perjuangan ekomi, stigma sosial, dan kerentanan emosional.  

Ini sejalan dengan tren Oscar belakangan yang mulai menghargai film bertema sosial. Contohnya, "Nomadland" (2020) yang mengisahkan kehidupan tunawisma atau "Moonlight" (2016) tentang identitas seksual. Tema pekerja seks dalam "Anora" dianggap sebagai cerminan realita yang sering diabaikan, sehingga membuka mata juri dan penonton.  

Adegan Seks di Film  
Sejarah Oscar memang tidak lepas dari film dengan adegan seks yang menuai polemik, tetapi tetap diakui secara artistik. Film seperti "Blue is the Warmest Color" (2013) atau "Brokeback Mountain" (2005) memenangi banyak penghargaan karena adegan intimnya yang berfungsi memperdalam alur, bukan sekadar menarik perhatian.  

"Anora" menggunakan pendekatan serupa. Adegan seks dalam film ini tidak hadir untuk sensasi, tetapi sebagai alat naratif untuk menunjukkan dinamika hubungan, kekuasaan, dan kerapuhan manusia. Hal ini membedakannya dari film yang hanya mengandalkan konten dewasa tanpa kedalaman cerita.  

Perubahan Selera Akademi
Dalam dekade terakhir, Academy Awards (Oscar) telah melakukan reformasi besar, termasuk menambah keragaman anggota juri. Perubahan ini membuat film dengan tema "berani" dan jarang diekspos—seperti kehidupan pekerja seks—mendapat panggung lebih luas. "Anora" dianggap memanfaatkan momentum ini dengan baik.  

Selain itu, kritikus menilai kemenangan "Anora" juga dipengaruhi oleh faktor teknis: sinematografi yang intim, akting natural dari pemeran utama, dan skenario yang menghindari klise. Film ini berhasil membuat penonton merasa "dekat" dengan tokohnya, meski latar belakang hidupnya mungkin sangat berbeda.    

Oscar dan Makna di Balik Tema "Sulit"  
Kemenangan "Anora" di Oscar 2024 mengirim pesan jelas: industri film global semakin terbuka pada cerita dari pinggiran. Tema seperti pekerja seks, yang sering dianggap kontroversial, bisa menjadi jalan untuk menyoroti ketidakadilan dan memicu empati.  

Seperti kata Sean Baker dalam pidato penerimaannya, "Setiap orang punya kisah yang layak diceritakan." Dan Oscar, sebagai panggung tertinggi, kini mulai menjadi megafon bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
 
sumber bacaan: kontanpopbela

02 March 2025

Gaza, Hamas dan Israel


 

ham
Truk Bantuan  

Gaza, wilayah seluas 365 km² yang dihuni sekitar 2 juta warga Palestina, terus menjadi saksi konflik berdarah antara Hamas dan Israel. Di tengah gema ledakan dan tangisan anak-anak, isu kejahatan perang, upaya perpanjangan gencatan senjata, dan polemik penghentian bantuan kemanusiaan semakin memanas. Bagaimana ketiga elemen ini saling terkait, dan apa dampaknya bagi warga sipil yang terjebak dalam lingkaran kekerasan?  

Kejahatan Perang
Pada awal Maret 2024, Hamas mengecam keras keputusan Israel menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui jalur darat. Langkah ini disebut sebagai bentuk kejahatan perang, karena memblokade akses dasar seperti makanan, obat-obatan, dan air bersih bagi warga Gaza. Padahal, hukum humaniter internasional melarang penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.  

Israel membenarkan penghentian bantuan dengan alasan “mencegah dana mengalir ke Hamas.” Namun, PBB mencatat bahwa 80% penduduk Gaza bergantung pada bantuan luar untuk bertahan hidup. Anak-anak malnutrisi, rumah sakit tanpa listrik, dan warga yang minum air tercemar menjadi gambaran sehari-hari. Bagi banyak pihak, ini bukan sekadar blokade, tapi hukuman kolektif yang melanggar hak asasi manusia.  

Perpanjangan Gencatan Senjata  
Upaya menciptakan perdamaian sementara sempat muncul ketika Israel dan Amerika Serikat (AS) menyetujui perpanjangan gencatan senjata pada Maret 2024. Namun, Hamas menolak proposal ini karena dianggap tidak menguntungkan Palestina. Gencatan yang diusulkan disebut hanya memberi waktu bagi Israel untuk mengonsolidasikan kekuatan, tanpa menjamin penghentian serangan atau pencabutan blokade.  

Ini bukan kali pertama gencatan gagal. Sejak 2007, Gaza telah melalui puluhan gencatan yang hanya bertahan hitungan hari atau minggu. Akar masalahnya adalah ketidakseimbangan kekuatan: Israel didukung AS dan sekutu Barat, sementara Hamas bergantung pada simpati regional. Warga sipil, sekali lagi, menjadi korban ketika dialog berujung pada saling tuding dan roket yang kembali meluncur.  

Stop Bantuan  
PM Israel, Benjamin Netanyahu, pada Maret 2024 secara terbuka menyatakan akan menghentikan semua bantuan ke Gaza. Keputusan ini, disebut Hamas sebagai “pemerasan murahan” untuk memaksa Palestina menyerah. Netanyahu beralasan bahwa bantuan sering disalahgunakan Hamas untuk membangun terowongan perlawanan atau membeli senjata.  

Namun, data lapangan menunjukkan hal berbeda. LSM internasional seperti Amnesty International melaporkan bahwa bantuan kemanusiaan justru sering dihambat atau dihancurkan Israel sebelum mencapai Gaza. Contohnya, truk berisi obat-obatan dari Mesir kerap ditahan berminggu-minggu di perbatasan. Bagi warga Gaza, ini bukan soal politik, tapi pertaruhan nyawa: “Kami hanya ingin makan dan hidup,” kata Fatima, ibu tiga anak di Rafah, dalam wawancara dengan Al Jazeera.  

Komunitas internasional, semua umat manusia, bisa berperan dengan mendorong tekanan ke Israel agar membuka akses bantuan dan menghentikan pendudukan ilegal. Di sisi lain, Hamas juga perlu mengurangi serangan sporadis yang memicu eskalasi.
 
sumber berita: detikokezonemediaindonesia