Gaza, Hamas dan Israel
![]() | ||
Truk Bantuan |
Gaza, wilayah seluas 365 km² yang dihuni sekitar 2 juta warga Palestina, terus menjadi saksi konflik berdarah antara Hamas dan Israel. Di tengah gema ledakan dan tangisan anak-anak, isu kejahatan perang, upaya perpanjangan gencatan senjata, dan polemik penghentian bantuan kemanusiaan semakin memanas. Bagaimana ketiga elemen ini saling terkait, dan apa dampaknya bagi warga sipil yang terjebak dalam lingkaran kekerasan?
Kejahatan Perang
Pada awal Maret 2024, Hamas mengecam keras keputusan Israel menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui jalur darat. Langkah ini disebut sebagai bentuk kejahatan perang, karena memblokade akses dasar seperti makanan, obat-obatan, dan air bersih bagi warga Gaza. Padahal, hukum humaniter internasional melarang penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.
Israel membenarkan penghentian bantuan dengan alasan “mencegah dana mengalir ke Hamas.” Namun, PBB mencatat bahwa 80% penduduk Gaza bergantung pada bantuan luar untuk bertahan hidup. Anak-anak malnutrisi, rumah sakit tanpa listrik, dan warga yang minum air tercemar menjadi gambaran sehari-hari. Bagi banyak pihak, ini bukan sekadar blokade, tapi hukuman kolektif yang melanggar hak asasi manusia.
Perpanjangan Gencatan Senjata
Upaya menciptakan perdamaian sementara sempat muncul ketika Israel dan Amerika Serikat (AS) menyetujui perpanjangan gencatan senjata pada Maret 2024. Namun, Hamas menolak proposal ini karena dianggap tidak menguntungkan Palestina. Gencatan yang diusulkan disebut hanya memberi waktu bagi Israel untuk mengonsolidasikan kekuatan, tanpa menjamin penghentian serangan atau pencabutan blokade.
Ini bukan kali pertama gencatan gagal. Sejak 2007, Gaza telah melalui puluhan gencatan yang hanya bertahan hitungan hari atau minggu. Akar masalahnya adalah ketidakseimbangan kekuatan: Israel didukung AS dan sekutu Barat, sementara Hamas bergantung pada simpati regional. Warga sipil, sekali lagi, menjadi korban ketika dialog berujung pada saling tuding dan roket yang kembali meluncur.
Stop Bantuan
PM Israel, Benjamin Netanyahu, pada Maret 2024 secara terbuka menyatakan akan menghentikan semua bantuan ke Gaza. Keputusan ini, disebut Hamas sebagai “pemerasan murahan” untuk memaksa Palestina menyerah. Netanyahu beralasan bahwa bantuan sering disalahgunakan Hamas untuk membangun terowongan perlawanan atau membeli senjata.
Namun, data lapangan menunjukkan hal berbeda. LSM internasional seperti Amnesty International melaporkan bahwa bantuan kemanusiaan justru sering dihambat atau dihancurkan Israel sebelum mencapai Gaza. Contohnya, truk berisi obat-obatan dari Mesir kerap ditahan berminggu-minggu di perbatasan. Bagi warga Gaza, ini bukan soal politik, tapi pertaruhan nyawa: “Kami hanya ingin makan dan hidup,” kata Fatima, ibu tiga anak di Rafah, dalam wawancara dengan Al Jazeera.
Komunitas internasional, semua umat manusia, bisa berperan dengan mendorong tekanan ke Israel agar membuka akses bantuan dan menghentikan pendudukan ilegal. Di sisi lain, Hamas juga perlu mengurangi serangan sporadis yang memicu eskalasi.
Kejahatan Perang
Pada awal Maret 2024, Hamas mengecam keras keputusan Israel menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui jalur darat. Langkah ini disebut sebagai bentuk kejahatan perang, karena memblokade akses dasar seperti makanan, obat-obatan, dan air bersih bagi warga Gaza. Padahal, hukum humaniter internasional melarang penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.
Israel membenarkan penghentian bantuan dengan alasan “mencegah dana mengalir ke Hamas.” Namun, PBB mencatat bahwa 80% penduduk Gaza bergantung pada bantuan luar untuk bertahan hidup. Anak-anak malnutrisi, rumah sakit tanpa listrik, dan warga yang minum air tercemar menjadi gambaran sehari-hari. Bagi banyak pihak, ini bukan sekadar blokade, tapi hukuman kolektif yang melanggar hak asasi manusia.
Perpanjangan Gencatan Senjata
Upaya menciptakan perdamaian sementara sempat muncul ketika Israel dan Amerika Serikat (AS) menyetujui perpanjangan gencatan senjata pada Maret 2024. Namun, Hamas menolak proposal ini karena dianggap tidak menguntungkan Palestina. Gencatan yang diusulkan disebut hanya memberi waktu bagi Israel untuk mengonsolidasikan kekuatan, tanpa menjamin penghentian serangan atau pencabutan blokade.
Ini bukan kali pertama gencatan gagal. Sejak 2007, Gaza telah melalui puluhan gencatan yang hanya bertahan hitungan hari atau minggu. Akar masalahnya adalah ketidakseimbangan kekuatan: Israel didukung AS dan sekutu Barat, sementara Hamas bergantung pada simpati regional. Warga sipil, sekali lagi, menjadi korban ketika dialog berujung pada saling tuding dan roket yang kembali meluncur.
Stop Bantuan
PM Israel, Benjamin Netanyahu, pada Maret 2024 secara terbuka menyatakan akan menghentikan semua bantuan ke Gaza. Keputusan ini, disebut Hamas sebagai “pemerasan murahan” untuk memaksa Palestina menyerah. Netanyahu beralasan bahwa bantuan sering disalahgunakan Hamas untuk membangun terowongan perlawanan atau membeli senjata.
Namun, data lapangan menunjukkan hal berbeda. LSM internasional seperti Amnesty International melaporkan bahwa bantuan kemanusiaan justru sering dihambat atau dihancurkan Israel sebelum mencapai Gaza. Contohnya, truk berisi obat-obatan dari Mesir kerap ditahan berminggu-minggu di perbatasan. Bagi warga Gaza, ini bukan soal politik, tapi pertaruhan nyawa: “Kami hanya ingin makan dan hidup,” kata Fatima, ibu tiga anak di Rafah, dalam wawancara dengan Al Jazeera.
Komunitas internasional, semua umat manusia, bisa berperan dengan mendorong tekanan ke Israel agar membuka akses bantuan dan menghentikan pendudukan ilegal. Di sisi lain, Hamas juga perlu mengurangi serangan sporadis yang memicu eskalasi.
sumber berita: detik, okezone, mediaindonesia
0 comments :
Post a Comment